PROPOSAL PENELITIAN KUANTITATIF

Standar
  1. JUDUL

PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA TERHADAP TINGKAT PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA SOSIOLOGI ANGKATAN 2008 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

 

  1. PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Memasuki era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat. Tuntutan masyarakat semakin kompleks dan persaingan sangat ketat. Hal ini harus didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dilakukan melalui jalur pendidikan. Pendidikan merupakan faktor pendukung utama terbentuknya manusia yang produktif dan kreatif guna terciptanya masyarakat yang sejahtera dan makmur serta memajukan bangsa dan negara. Dalam arti luasnya, pendidikan mengandung pengertian mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih setiap individu.

Tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU RI NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan yang hendak dicapai pemerintah Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah sejak orde baru telah mengadakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”.

Penyelenggaraan pendidikan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dan perguruan tinggi dengan proses pengajaran yang berjenjang dan berkesinambungan. Sedang pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah dan perguruan  tinggi tanpa proses pengajaran yang berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang berada di luar pendidikan formal. Dalam keluarga diselenggarakan pendidikan keluarga dengan pemberikan pendidikan, pengajaran, dan bimbingan mengenai agama, moral, etika, budaya, dan keterampilan. Sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pendidikan. Dengan demikian, latar belakang keluarga harus diperhatikan guna tercapainya pendidikan yang maksimal.

Orang tua, masyarakat, dan pemerintah adalah tiga unsur yang bertanggungjawab dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Masyarakat dan pemerintah bertugas menyiapkan sarana dan prasarana diselenggarakannya proses pendidikan, seperti kampus, dosen, pengawai yang mengurusi administrasi kampus dalam suatu perguruan tinggi. Bahar dalam  Maftukhah  (2007), menyatakan bahwa: pada umumnya anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas lebih banyak mendapatkan pengarahan dan bimbingan yang baik dari orang tua mereka. Anak-anak yang berlatar belakang ekonomi rendah, kurang mendapat bimbingan dan pengarahan yang cukup dari orang tua mereka, karena orang tua lebih memusatkan perhatiannya pada bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keluarga mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan anak karena keluarga adalah lembaga sosial pertama dalam hidup manusia. Dalam keluarga, orang tua memiliki tugas dan kewajiban dalam memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan anak, terutama dalam hal finansial. Dikatakan bahwa orang tua yang berstatus sosial ekonomi tinggi, tidaklah banyak mengalami kesulitan dalam proses pendidikan anaknya. Sebaliknya, bagi orang tua yang berstatus sosial

Dalam proses pembelajaran diperlukan sarana penunjang yang terkadang mahal. Akibatnya bagi orang tua yang tidak  mampu memenuhi sarana penunjang tersebut, maka anak akan terhambat dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, sumber daya manusia menjadi rendah sehingga menghambat kemajuan bangsa dan negara.

Keadaan demikian dapat kita lihat di jurusan Sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universita Negeri Makassar, dalam kelas tersebut terdapat mahasiswa-mahasiswi dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi orang tua yang berbeda. Adanya perbedaan status sosial ekonomi orang tua para mahasiswa-mahasiswi tersebut mempunyai pengaruh terhadap proses pembelajaran terutama dalam membiayai seluruh keperluaan pembelajaran. Status sosial ekonomi orang tua merupakan faktor dalam mencapai keberhasilan pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana besarnya pengaruh status sosial orang tua terhadap tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

 

  1. Rumusan Masalah

 

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana gambaran tentang status sosial ekonomi orang tua mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar?
  2. Bagaimanakah tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar?
  3. Seberapa besar pengaruh status sosial ekonomi orang tua terhadap tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar?

 

  1. Tujuan Penelitian

 

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

  1. untuk mengetahui gambaran tentang status sosial ekonomi orang tua mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.
  2. Untuk mengetahui tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.
  3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh status sosial ekonomi orang tua mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

 

  1. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi dan pengaruh status sosial ekonomi orang tua mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

  1. Secara Praktis

Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut dan sebagai data dasar bagi perkembangan sistem pendidikan guna terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.

 

  1. Tinjauan Pustaka, Kerangka Pikir, dan Hipotesis

 

  1. Teori Stratifikasi

Dalam masyarakat terdapat sistem lapisan kelompok-kelompok yang dalam sosiologi dikenal dengan istillah stratifikasi sosial (social stratification). Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto (2003:228) menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).

Menurut Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:49), stratifikasi sosial adalah struktur sosial yang memiliki lapisan-lapisan dalam suatu masyarakat.

Selanjutnya menurut Henslin (2007:178), stratifikasi sosial (social stratification) merupakan suatu sistem di mana kelompok manusia terbagi dalam lapisan-lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemilikan, dan prestise relatif mereka. Penting untuk dipahami bahwa stratifikasi sosial tidak merujuk pada individu. Stratifikasi sosial merupakan cara untuk menggolongkan sejumlah besar kelompok manusia  ke dalam suatu hirarki sesuai dengan hak-hak istimewa relatif mereka.

Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang bisa menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat.

Di dalam uraian tentang teori lapisan senantiasa dijumpai istilah kelas (social class). Seperti yang sering terjadi dengan beberapa istilah lain dalam sosiologi, maka istilah kelas, juga tidak selalu mempunyai arti yang sama. Walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat disebut class-system artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, maka pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lainnya

Dalam Soekanto (2003:235) Max Weber mengadakan pembedaan antara dasar ekonomis dengan dasar kedudukan sosial akan tetapi tetap mempergunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi ke dalam sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Disamping itu, Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakannya stand.

Joseph Schumpeter dalam Soekanto (2003:235-236), mengatakan bahwa terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat adalah karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata. Makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya.

Soekanto (2003:237-238) membagi empat dasar lapisan masyarakat:

  1. Ukuran kekayaan. Barangsiap yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
  2. Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.
  3. Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/ atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
  4. Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.

Kedudukan di atas tidaklah limitatif karena masih ada ukuran yang lain yang dapat digunakan, akan tetapi ukuran-ukuran di atas sangat menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap memiliki status yang paling tinggi, menyusul para pemilik tanah, setelah itu mereka yang hanya memiliki tanah pekarangan rumah saja. Dalam masyarakat perkotaan status sosial ditentukan oleh standar keahlian yang dimiliki atau berada pada standar penilaian ilmu pengetahuan.

 

  1. Teori Kecerdasan

Ada tujuh kecerdasan yang digagas oleh Howard Garner yang biasa disebut Multiple Intelligences. Ketujuh kecerdasan itu adalah: kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, interpersonal, dan intrapersonal.

Setiap anak bisa memiliki satu atau beberapa kecerdasan yang menonjol dan beberapa kecerdasan lain yang normal atau bahkan rendah. Berikut penjelasan untuk setiap kecerdasan:

  1. Kecerdasan linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi (bunyi bahasa), semantik (makna bahasa), dimensi paragmatik (penggunaan praktis bahasa). Penggunaan bahasa mencakup aspek retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan tertentu), mnemonik (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (pengunaan bahasa untuk member informasi), dan meta bahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri). Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh pendogeng, orator, politisi, pembawa acara, pembicara publik, pemceramah, sastrawan, dan sebagainya.
  2. Kecerdasan matematis-logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka sebab akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis antara lain: kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh ahli matematika, insinyur, pekerja keuangan, ahli statistik, ilmuawan, perencana, dan sebagainya.
  3. Kecerdasan spasial. Kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsur-unsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam matrx spasial. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh arsitek, dekorator, seniman, desainer, fotografer, sutradara film, dan sebagainya.
  4. Kecerdasan kinestetis-jasmani. Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan mengunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan ini meliputi kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan dan hal-hal yang berkaitan dengan sentuhan. Kecerdasan ini biasa dimiliki oleh pengrajin, mekanik, dokter bedah, at let, aktor, penari, dan sebagainya.
  5. Kecerdasan musikal. Kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi, membedakan, mengubah, dan mengekspresikan. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titik nada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para musisi dan penyanyi.
  6. Kecerdasan interpersonal. Kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada eksperesi wajah, suara, gerak-isyarat; kemampuan untuk membedakan berbagai macam tanda interpersonal; kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh: politisi, pekerja sosial, psikolog, pewawancara dan sebagainya.
  7. Kecerdasan intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud motivasi, temperamen, dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh penulis, spritualis, psikolog, ilmuwan, dan sebagainya.
  8. Keadaan Sosial Ekonomi Orang Tua

Keadaan sosial ekonomi setiap orang berbeda-beda dan bertingkat, ada yang keadaan sosial ekonominya tinggi, sedang, dan rendah. Dalam Maftukhah  (2007) sosial ekonomi menurut Abdulsyani (1994) adalah kedudukan atau posisi sesorang dalam kelompok manusia yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, jenis rumah tinggal, dan jabatan dalam organisasi, sedangkan menurut Soerjono Soekanto (2001) sosial ekonomi adalah posisi seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan peraulan, prestasinya, dan hak-hak serta kewajibannya dalam hubunganya dengan sumber daya.

Keluarga dengan pendapatan cukup atau tinggi pada umumnya akan lebih mudah memenuhi segala kebutuhan sekolah dan keperluan lain. Berbeda dengan keluarga yang mempunyai penghasilan relatif rendah, pada umumnya mengalami kesulitan dalam pembiayaan sekolah, begitu juga dengan keperluan lainnya. Menurut Hamalik dalam Maftukhah (2007) bahwa keadaan sosial ekonomi yang baik dapat yang menghambat ataupun mendorong dalam belajar. Masalah biaya pendidikan juga merupakan sumber kekuatan dalam belajar karena kurangnya biaya pendidikan akan sangat mengganggu kelancaran belajar. Salah satu fakta yang mempengaruhi tingkat pendidikan anak adalah pendapatan keluarga. Tingkat sosial ekonomi keluarga mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap prestasi belajar siswa di sekolah, sebab segala kebutuhan anak yang berkenaan dengan pendidikan akan membutuhkan sosial ekonomi orang tua.

  1. Prestasi Akademik

Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan tanpa suatu usaha yang baik berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan (Qohar, 2000).

Prestasi menyatakan hasil yang telah diicapai, dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya, dengan hasil yang menyenangkan hati diperoleh dengan jalan keuletan kerja (Nasrun, 2000).

Sobur (2006) dalam Sahputra (2009) menyatakan bahwa prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah llangsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang standar.

Menurut Setiawan (2000), prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan oleh seseorang secara optimal.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi akademik, sebagaimana yang dikemukakan Rola (2006) terdapat empat faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu:

 

 

  1. Pengaruh keluarga dan kebudayaan

Besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu daerah seperti cerita rakyat, sering mengandung tema prestasi yang bisa meningkatkan semangat.

  1. Peranan konsep diri

Konsep diri merupakan bagaimana individu berfikir tentang dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam tingkah lakunya.

  1. Pengaruh dari peran jenis kelamin

Prestasi akademik yang tinggi biasanya diidentikkan dengan makulinitas, sehingga banyak wanita yang belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut berada diantara pria. Pada wanita terdapat kecenderungan takut akan kesuksesan, yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran pada dirinya akan ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan, namun sampai saat ini konsep tersebut masih diperdebatkan.

  1. Pengakuan dan prestasi

Individu akan berusaha bekerja keras jika dirinya merasa diperdulikan oleh orang lain. Dimana prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga, dan dukungan lingkungan tenpat dimana individu berada. Individu yang diberi dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya.

 

Sedangkan dipihak lain Soemanto dalam Sahputra (2009) menyatakan faktor yang mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu adalah:

  1. Konsep diri

Pikiran atau persepsi individu tentang dirinya sendiri, merupakan faktor yang penting mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu.

  1. Locus of Control

Dimana individu merasa melihat hubungan antara tingkah laku dan akibatnya, apakah dapat menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakannya. Locus of control mempunyai dua dimensi, yakni dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi eksternal akan menganggap bahwa tanggung jawab segala perbuatan berada di luar diri pelaku. Sedangkan dimensi internal melihat bahwa tanggung jawab sebagai perbuatan berada pada diri si pelaku. Individu yang memiliki locus of control eksternal memiliki kegelisahan, kecurigaan, dan rasa permusuhan. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal suka bekerja sendiri dan efektif.

 

  1. Kecemasan yang dialami

Kecemasan merupakan gambaran emosional yang dikaitkan dengan ketakutan. Dimana dalam proses belajar mengajar, individu memiliki derajat dan jenis kegelisahan yang berbeda.

  1. Motivasi belajar

Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat daripada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat, individu akan mencari soal yang lebih mudah atau lebih sukar.

Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah sedikit banyak memiliki keinginan berprestasi. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki keinginan berprestasi tinggi dan rendah adalah keinginan dirinnya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006).

Sobur dalam Sahputra (2009) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi tinggi adalah, berprestasi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standar tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi diri sendiri yang lampau, serta tugas yang harus dilakukan. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk. Menghindari tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas yang tingkat kesulitannya sedang. Inovatif, yaitu dalam melakukan proses pekerjaan  dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari yang sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapatkan cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam pencapaian tujuan. Tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan atau kegagalan disebabkan oleh tindakan individu itu sendiri.

Dengan demikian, individu yang memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi adalah individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab pribadi atas apa yang dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada situasi dimana dirinya mendapat umpan balik sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya, individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, individu lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan realistis dalam pencapaian tujuannya, individu bersifat inovatif dimana dalam melakukan tugas selalu dengan cara yang berbeda, efisien, dan lebih baik dari yang sebelumnya. Dengan demikian, individu merasa lebih dapat menerima kegagalannya atas apa yang dilakukannya.

  1. Kerangka Pikir

Secara teoritis dikatakan bahwa ada pengaruh antara status sosial ekonomi orang tua terhadap tingkat prestasi akademik mahasiswa. Secara sederhana dapat terlihat bahwa keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi akan mudah memenuhi segala kebutuhan hidupnya, termasuk dalam kemudahan memperoleh akses-akses yang berhubungan dengan pendidikan. Sebaliknya, keluarga yang memiliki status sosial ekonomi rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, karena adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki maka anak mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan.

 

 

Dalam penelitian ini diidentifikasikan pengaruh antara status sosial ekonomi orang tua terhadap tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar, sebagaimana tergambar dalam skema di bawah ini:

 

Skema Kerangka Pikir
  1. Hipotesis

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa ada pengaruh antara status sosial ekonomi orang tua terhadap tingkat prestasi akademik mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

  1. Metode Penelitian

 

  1. Populasi dan Sampel
  2. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda yang ada di sekitar kita (Sugiyono, 2009:80).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah keseluruhan mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar yang berjumlah 54 mahasiswa yang terdiri dari 18 laki-laki dan 36 perempuan.

  1. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009:81). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Teknik ini digunakan karena peneliti menganggap populasi dalam penelitian ini adalah homogen yaitu keseluruhan populasi adalah mahasiswa.

  1. Variabel Penelitian

Hatch dan Farhady (1981) dalam Sugiyono (2009:38) mendefinisikan variabel sebagai atribut seseorang, atau subjek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain.

Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu:

  1. Variabel Independen

Dalam penelitian ini variabel independen (variabel bebas) adalah kondisi status sosial ekonomi orang tua mahasiswa yaitu:

  1. Tingkat pendidikan
  2. Tingkat pendapatan
  3. Pemilikan kekayaan
  4. Jenis tempat tinggal

 

  1. Variabel Dependen

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen (variabel terikat) adalah prestasi akademik mahasiswa yaitu nilai Indeks Prestasi Akademik (IPK) mahasiswa sosiologi angkatan 2008 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

  1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2009:202).

Dalam penelitian ini ada dua instrumen yang digunakan yaitu:

  1. Instrumen yang digunakan untuk mengukur status sosial ekonomi orang tua mahasiswa.
  2. Instrumen yang digunakan untuk mengukur prestasi akademik mahasiswa.

 

  1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dipakai adalah metode angket. Angket digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi orang tua mahasiswa dan prestasi akademik mahasiswa.

 

  1. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang dipakai adalah statistik deskriptif untuk memberikan deskriptif atau gambaran data yang diperoleh. Untuk analisis data ini dilakukan pengumpulan data dengan menentukan skor responden sesuai penskoran yang ditentukan. Selanjutnya menjumlahkan skor tersebut. Untuk menentukan skor (deskriptif persentase) digunakan rumus:

DP =  x 100%

Ket:

DP       :    Deskriptif persentase

N         :    Jumlah seluruh nilai yang diharapkan

n          :    Nilai yang diperoleh

 

Data yang diperoleh dari angket dianalisis melalui tahapan yaitu:

  1. Mengelompokkan data sesuai dengan jenisnya.
  2. Membuat tabulasi data.
  3. Data yang telah ditabulasikan, diolah dalam bentuk komputerisasi.

Arikunto dalam Maftukhah (2007), untuk mempermudah analisis data dari angket yang bertingkat maka perlu diketahui skor yang diperoleh responden dari hasil angket yang diisi. Untuk itu perlu ditentukan kriteria penskoran sebagai berikut:

  1. Untuk alternatif jawaban a diberi skor 4
  2. Untuk alternatif jawaban b diberi skor 3
  3. Untuk alternatif jawaban c diberi skor 2
  4. Untuk alternatif jawaban d diberi skor 1

Untuk menentukan kriteria penskoran adanya hubungan antara status sosial ekonomi orang tua terhadap prestasi akademik mahasiswa digunakan perhitungan sebagai berikut:

  1. Persentase skor maksimal       =   ( 4 : 4 ) x 100%    =   100%
  2. Persentase skor minimal         =   ( 1 : 4 ) x 100%    =   25%
  3. Rentang                                  =   100% – 25%         =   75%
  4. Panjang kelas interval             =   75% : 4                =   18,75%

Metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh status sosial ekonomi orang tua terhadap prestasi akademik mahasiswa, data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi sederhana. Mencari persamaan garis regresi digunakan teknik analisis regresi linear satu variabel dengan persamaan sebagai berikut:

Y = a + bX

Ket:

Y    :    Variabel terikat (prestasi akademik)

a     :    Konstanta

b     :    koefisien regresi variabel X

X    :    Variabel bebas (kondisi sosial ekonomi)

 

  1. Jadwal Penelitian

 

No. Kegiatan Tahun 2011
Januari Februari Maret April
1. Persiapan x x x
2. Pengumpulan Data x x X x
3. Penulisan Laporan Dan Konsultasi x x x x
4. Penggandaan x

 

sumber:

 

Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, jilid 1, edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Nasution, S. Prof, Dr. 2008. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Said gatara, A.A, dan Dzulkiah Said, Moh. 2007. Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: CV Pustaka Setia.

Soekanto, Soerjono. 2003. Soosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sugiyono, Prof,. Dr. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

 

Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, jilid 1, edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Nasution, S. Prof, Dr. 2008. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Said gatara, A.A, dan Dzulkiah Said, Moh. 2007. Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: CV Pustaka Setia.

Soekanto, Soerjono. 2003. Soosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sugiyono, Prof,. Dr. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

 

Contoh Proposal Penelitian Kualitatif

Standar

 

UPAYA GURU BK DALAM MENINGKATKAN SELF CONTROL REMAJA DI SMA NEGERI 1 PEMALANG

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF

Disusun Guna Memenuhi Tugas Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen Pengampu : Dra. Maria Theresia Sri Hartati, M.Pd

Oleh
Hari Liyono Nugroho
1301411084

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

  1. PENDAHULUAN
  2. Latar Belakang Masalah
    Istilah pubertas maupun adolescensia sering di maknai dengan masa remaja, yakni masa perkembangan sifat tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Sedangkan menurut Harold Alberty (1967:86), remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yakni berlangsung 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran seseorang.

Sejauh mana remaja dapat mengamalkan nilai-nilai yang di anutnya dan yang telah dicontohkan kepada mereka? Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya lalu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan sosial tanpa bimbingan, pengawasan, motivasi, dan ancaman sebagaimana sewaktu kecil. Dia juga di tuntut mampu mengendalikan tingkah lakunya karena dia bukan lagi tanggung jawab orang tua atau guru.

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul “The Developmental of model of moral Think and choice in the years 10 to 16”. menyebutkan bahwa tahap-tahap perkembangan moral pada individu dapat di bagi sebagai berikut:

  1. Tingkat Prakonvensional
    Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi, hal ini semata-mata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan).
  2. Tingkat Konvensional
    Pada tingkat ini, anak hanya menurut harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata.
  3. Tingkat Pasca-konvensional
    Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang dimiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut.
    Piaget menyebutkan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap pelaksanan formal dalam kemampuan kognitif. Dia mampu mempertimbangkan segala kemungkinan untuk mengatasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang dan berani mempertanggung jawabkan.

Sehingga kohlberg juga berpendapat bahwa perkembangan moral ketiga, moralitas pasca-konvensional harus di capai selama masa remaja. Sejumlah prinsip di terimanya melalui dua tahap; pertama menyakini bahwa dalam keyakinan moral harus ada fleksibilitas sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan dan perubahan standar moral bila menguntungkan semua anggota kelompok; kedua menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjahui hukuman sosial terhadap dirinya sendiri, sehingga perkembangan moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi, tatapi mernghormati orang lain.

Akan tetapi pada kenyataan banyak di temukan remaja yang belum bisa mencapai tahap pasca-konvensional, dan juga pernah di temukan remaja yang baru mencapai tahap prakonvensional.

Fenomena tersebut banyak di jumpai pada remaja yang pada umumnya mereka masih duduk di bangku SMA/SMK, seperti:
1. Berperangi tidak terpuji, meremehkan peraturan dan disiplin sekolah
2. Suka berhura-hura dan bergerombol.
3. Mentaati peraturan sekolah, karena takut pada hukuman.

Dan tidak jarang kita mendengar perkelahian terjadi antar remaja yang tidak jelas sebabnya. Bahkan perkelahian dapat meningkat menjadi permusuhan kelompok, yang menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Bila ditanyakan kepada mereka, apa yang menyebabkan mereka berbuat kekerasan sesama remaja, dan apa masalahnya sehingga peristiwa yang memalukan tersebut terjadi, banyak yang menjawab bahwa mereka tidak sadar mengapa mereka secepat itu menjadi marah dan ikut berkelahi.

Fenomena di atas menggambarkan bahwa upaya remaja untuk mencapai moralitas dewasa; mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum, merumuskan konsep yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai pedoman tingkah laku, dan mengendalikan tingkah laku sendiri, merupakan upaya yang tidak mudah bagi mayoritas remaja.

Menurut Rice (1999), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan. Pada saat ini, masyarakat dunia sedang mengalami banyak perubahan begitu cepat yang membawa berabagai dampak, baik positif maupun negatif bagi remaja. Dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).

Agar remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya itu mampu menyesuaikan diri dengan keadaan perubahan tersebut, maka berbagai usaha baik dari pihak orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya, amat diperlukan.

Salah satu peran konselor adalah sebagai pembimbing dalam tugasnya yaitu mendidik, guru harus membantu murid-muridnya agar mencapai kedewasaan secara optimal. Artinya kedewasaan yang sempurna (sesuai dengan kodrat yang di punyai murid) Dalam peranan ini guru harus memperhatikan aspek-aspek pribadi setiap murid antara lain kematangan, kebutuhan, kemampuan, kecakapannya dan sebagainya agar mereka (murid) dapat mencapai tingkat perkembangan dan kedewasaan yang optimal.

Untuk itu di samping orang tua, konselor di sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membantu remaja untuk mengatasi kesulitanya, keterbukaan hati konselor dalam membantu kesulitan remaja, akan menjadikan remaja sadar akan sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik.

Dengan kemampuan pengendalian diri (self control) yang baik, remaja di harapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Remaja juga di harapkan dapat mengantisipasi akibat-akibat negatif yang di timbulkan pada masa stroom and stress period.

Dari fenomena diatas penulis sangat tertarik untuk meneliti bagaimana endidikan anak dalam keluarga buruh dengan judul “UPAYA GURU BK DALAM MENINGKATKAN SELF CONTROL REMAJA DI SMA NEGERI 1 PEMALANG”

  1. Fokus Penelitian
    Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil penelitian, maka Penelitian ini difokuskan pada Guru BK dalam meningkatkan Self Control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG yang meliputi tujuan, kegiatan agama dan keagamaan yang dilakukan dalam meningkatkan self control hasil yang di capai, serta faktor pendukung dan penghambat.
  2. Rumusan Masalah
    Dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
    1. Bagaimanakah Upaya-upaya Guru BK dalam meningkatkan Self Control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG?
    2. Hasil apa yang di capai dalam meningkatkan self control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG?
    3. Apa faktor pendukung dan penghambat terhadap peningkatan Self Control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG?
  3. Tujuan Penelitian
    Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka Tujuan Penelitian yang ingin di capai adalah:
    1. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan upaya-upaya Guru BK dalam meningkatkan self control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG.
    2. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan hasil yang di capai dalam meningkatkan self control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG.
    3. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat terhadap peningkatan self control siswa di SMA NEGERI 1 PEMALANG.
  4. Manfaat Penelitian
    1. Manfaat teoritis
    Penelitian ini di harapkan dapat menunjukkan bahwa konseling yang di lakukan oleh Guru BK di SMA NEGERI 1 PEMALANG dapat membentuk self control siswa.
  5. Manfaat praktis
    Penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dalam menentukan kebijakan lebih lanjut bagi SMA NEGERI 1 PEMALANG mengenai peranan Guru BK dalam membantu siswa siswa membentuk self control yang baik.
  6. STUDI KEPUSTAKAAN

Untuk memperkuat masalah yang akan di teliti maka penulis mengadakan tela’ah pustaka dengan cara mencari dan menemukan teori-teori yang akan di jadikan landasan penelitian, yaitu:

Self Control (kontrol diri) adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif.

Averill (dalam, Herlina Siwi, 2000) Menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yang terdiri dari tiga jenis kontrol, yaitu:

  1. Behavior Control (kontrol perilaku), yang terdiri dari dua komponen, yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).
    2. Cognitive control (kontrol kognitif), yang terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal).
    3. Decisional Control merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
    Untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:
    1. Kemampuan mengontrol perilaku
    2. Kemampuan mengontrol stimulus
    3. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian
    4. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian.
    5. Kemampuan mengambil keputusan.
    Tiga langkah orang dewasa dalam membangun kontrol diri pada anak, yaitu:
  2. Langkah pertama adalah memperbaiki perilaku anda, sehingga dapat memberi contoh control diri yang baik bagi anak dan menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan prioritas.
    2. Langkah kedua adalah membantu anak menumbuhkan sistem regulasi internal sehingga dapat menjadi motivator bagi diri mereka sendiri.
    3. Langkah ketiga mengajarkan cara membantu anak menggunakan kontrol diri ketika menghadapi godaan dan stres, mengajarkan untuk berfikir sebelum bertindak sehingga mereka akan memilih sesuatu yang aman dan baik.

III. PROSEDUR PENELITIAN

  1. Metode, dan Alasan Menggunakan Metode
    Dalam penelitian ini digunakan Metodologi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data lansung, deskriptif, proses lebih dipentingkan dari pada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.

Ada 6 (enam) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu: etnografis, studi kasus, grounded theory, interaktif, partisipatories, dan penelitian tindakan kelas.
Dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus (case study), yaitu: suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.

  1. Tempat Penelitian
    Penelitian ini berlokasi di SMA NEGERI 1 PEMALANG karena di dasarkan pada beberapa pertimbangan:
    SMA adalah Sekolah Menengah Atas yang memiliki konotasi perilaku yang tidak begitu baik menurut pandangan masyarakat. sehingga Konselor di SMA sangat berperan dalam memantau penyimpangan perilaku para siswa.
  2. Instrumen Penelitian
    Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri.
  3. Sampel Sumber Data
    Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lainnya. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tidakan sebagai sumber utama, sedangkan sumber data tertulis, foto dan catatan tertulis adalah sumber data tambahan.
  4. Teknik Pengumpulan Data
    Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat di mengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan observasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlansung dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek).

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud digunakannya wawancara anatara lain adalah (a) mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, (b) mengkonstruksikan kebulatan-kebulatan demikian yang dialami masa lalu.

Dalam penelitian ini teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara mendalam artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam yang berhubungan dengan fokus permasalahan. Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat terkumpul secara maksimal sedangkan subjek peneliti dengan teknik Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan, sehingga memenuhi kepentingan peneliti.

Sedangkan jumlah informan yang diambil terdiri dari:
1. Kepala Sekolah SMA NEGERI 1 PEMALANG;
2. Guru Bimbingan dan Konseling SMA NEGERI 1 PEMALANG;
3. Seluruh Wali Kelas SMA NEGERI 1 PEMALANG.

Teknik Observasi, dalam penelitian kualitatif observasi diklarifikasikan menurut tiga cara. Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian dan dalam penelitian ini digunakan tehnik observasi yang pertama di mana pengamat bertindak sebagai partisipan.

Tehnik Dokumentasi, digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman.

“Rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenihi accounting. Sedangkan “Dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti: surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan sebagainya.

  1. Teknik Analisis Data
    Setelah semua data terkumpul, maka langka berikutnya adalah pengelolahan dan analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain.

Analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam analisis data selama di lapangan peneliti menggunakan model spradley, yaitu tehnik analisa data yang di sesuaikan dengan tahapan dalam penelitian, yaitu:

  1. Pada tahap penjelajahan dengan tehnik pengumpulan data grand tour question, yakni pertama dengan memilih situasi sosial (place, actor, activity),
    2. Kemudian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang informan “key informant” yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut, dan mencatat hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil dari analisis wawancara selanjutnya peneliti melakukan analisis domain.
    3. Pada tahap menentukan fokus (dilakukan dengan observasi terfokus) analisa data dilakukan dengan analisis taksonomi.
    4. Pada tahap selection (dilakukan dengan observasi terseleksi) selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kontras, yang dilakukan dengan analisis komponensial.
    5. Hasil dari analisis komponensial, melalui analisis tema peneliti menemukan tema-tema budaya. Berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya peneliti menuliskan laporan penelitian kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA
Borba, Michele. Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ghufron, M. Nur. ” Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta, 2003. http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf
Gunarsa, D. Singgih. Bunga rampai Psikologi Perkembangan; Dari anak sampai usia lanjut. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002.
Sugiyono, Metodologi Penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D Bandung: Alfabeta, 2006.

 

Contoh Makalah Reformasi Birokrasi

Standar
Contoh Makalah Reformasi Birokrasi

REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

 

MAKALAH

 

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reformasi Birokrasi

 

Dosen Pengampu :

Dr. Wijaya, S.H., M.Hum.

Dra. Aris Toening Winarni, M.Si.

 

 

 

Oleh :

BUDIMAN

NIM. 151003631010069

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU ADMINISTRASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNTAG SEMARANG

TAHUN AKADEMIK 2015/2016

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW, seorang reformis sejati yang menjadi pemimpin dunia membawa umat manusia kearah yang benar dan sebagai Nabi akhir jaman, tak lupa kepada keluarga dan sahabatnya serta kita sebagai umatnya yang selalu mengharapkan syafaat nanti di yaumil akhir.

Berkat rahmat, karunia dan ridho-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar. Judul yang penulis ajukan adalah REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Reformasi Birokrasidengan dosen pengampu Dr. Wijaya, S.H., M.Hum. dan Dra. Aris Toening Winarni, M.Si…

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan, bahasa maupun isinya. Hal tersebut mengingat kepada keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki, namun penulis sangat berharap semoga makalah yang disusun ini dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

 

 

Comal , 3 November 2015

 

 

Penulis

 

 

 


 

RINGKASAN

PEMBAHASAN REFORMASI BIROKRASI

 

Apa itu birokrasi ? Pertama perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalahpahaman umum bahwa pengertian birokrasi diberikan kepada hal-hal seperti jika seorang ingin mendapatkan informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang lain, tanpa mendapatkan informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya efisiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam suatu perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).

Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi (kerja sama) masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, sehingga terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.

Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup di dalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Menurut Prof. Prijono, “Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu menghasilkan pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan profesional yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat”. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi.

Dikarenakan keadaan birokrasi Indonesia yang masih kacau balau pasca orde baru, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di setiap lembaga birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, kita selaku masyarakat dan warga negara perlu mengetahui apa itu reformasi birokrasi, selain itu juga agar masyarakat dapat mengetahui seberapa efektif reformasi birokrasi yang sudah berjalan di lembaga-lembaga birokrasi Indonesia sampai saat ini.

Reformasi birokrasi, adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

 

 

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Di dalam negara yang mengikuti sistem demokrasi kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintahtidak bisa dihindari. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah itu menjalakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan dmikian birokrasi pemerintah itu tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi saja yang meniti karier di dalamnya, melainkan pula bagian-bagian lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik. Demikian pula sebaliknya di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.

Ketika kehadiran partai politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi pemerintah tersebut mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah di kemukakan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari perbedaan antara politik dan administrasi.

Di Indonesia ketika baru saja merdeka tahun 1945, tata kepemerintahan kita  banyak diwarnai oleh kehidupan partai politik. Tidak lama setelah Maklumat Wakil Presiden Moh. Hatta yang dikenal dengan sebutan Maklumat X pada tanggal 16 Oktober 1945, maka rakyat serentak mendirikan banyak partai politik mulai saat itu kabinet yang merupakan organisasi eksekutif pemerintahan mulai dipimpin oleh partai politik. Kabinet Presidensial yang telah ditetapan oleh UUD 1945 hanya berlaku beberapa bulan saja dan kemudian diganti dengan Kabinet Parlementer. Kabinet Parlementer ini diberlakukan dalam negara yang berdasarkan UUD 45 yang mengikuti Kabinet Presidensial. Mulai saat itu kabinet dipimpin oleh orang-orang dari partai politik. Presiden sebagai keapa negara menunjuk seorang dari partai tertentu untuk bertindak sebagai formatur yang akan membentuk susunan kabinet. Formatur ini yang biasanya akan menjadi Perdana Menteri yang memimpin kabinet. Semua menteri anggota kabinet ditunjuk berdasarkan keanggotaan partai politik yang bersedia berkoalisi dengan partainya formatur kabinet. Namun demikian, ada pula menteri yang ditunjuk bukan karena mewakili partai politik tertentu, melainkan karena keahlian dan kemampuan individunya. Menteri yang tidak berpartai ini tidak banyak, dan pada umumnya menteri yang berada di kabinet adalah mereka yang berpartai.

Kehadiran partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan birokrasi pemerintah. Salah satu pengaruh itu ialah birokrasi pemerintah terkontaminasi terhadap bermacam dan beragam perbedaan ideologi yang dibawa partai politik. Tidak jarang terjadi bahwa suatu partai politik yang memimpin suatu kementrian untuk sekian lama telah tertanam pengaruh partai dalam kementerian tersebut. Tidak pula jarang terjadi suatu departemen yang menterinya dari partai tertentu, maka struktur jabatan dan pejabat yang mendudukinya dari partai yang sama dengan partai menterinya dari pusat sampai ke daerah. Pada waktu itu banyak dikenal bahwa Kementerian Dalam Negeri yang menterinya dari Partai Nasional Indonesia (PNI), maka struktur jabatan mulai dari Menteri sampai ke lurah di desa adalah orang-prang PNI. Demikian pula Kementerian Agama yang dipimpin oleh menteri dari NU, maka mulai dari Menteri sampai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dijabat oleh orqang-orang partai NU.

Kehadiran partai politik dalam pemerintahan sejak dari Kabinet Sjhrir pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlangsung secara intensif. Mulai dari ketika Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945, Kabinet kembali ke bentuk Presidensial, maka Kaninet tidak lagi bisa dibubarkan dan kabinet tidak bertanggung jawab kepada presiden. Para Menteri yang ditunjuk tidak lagi membawa partai tertentu.

Ketika Presiden Soekarno “jatuh” dan pemerintah diganti oleh pemerintah orde baru, partai politik tidak lagi bisa berperan aktif dalam pemerintahan. Peran partai politik digantikan oleh Golkar yang menamakan dirinya bukan partai politik. Kelembagaan birokrasi pemerintah dipimpin dan dikuasai oleh Golkar. Pemilihan umum dilakukan setiap 5 tahun sekali dan pemenangnya adalah bukan partai politik akan tetapi Golkar. Aneh memang, bukan partai politik tetapi ikut main politik berupa sebagai kontestan pemilihan umum setiap 5 tahun sekali dan selalu keluar sebagai pemenang mutlak. Dengan kemenangan pemilu tersebut maka Golkar selalu memimpin kabinet dan pemerintahan pada umumnya. Semua Menterinya adalah orang-orang Golkar, dan ini berlangsung cukup lama selama 32 tahun di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Sekarang ketika masa reformasi selama 4 tahun di bawah 3 Presiden tampaknya sulit untuk melakukan perubahan sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi kita. Partai-partai politik yang memerintah ribut untuk menanamkan pengaruh dan orang-orangnya ke dalam birokrasi pemerintah. Cerita lama terulang kembali, rama-ramai mendirikan “bangunan pengaruh” ke dalam birokrasi pemerintah sebagai sumber kakuatan untuk menyiapkan diri memenangkan pemilu mendatang. Semua partai politik menyadari bahwa bangunan birokrasi pemerintah itu menjulur dari pusat pemerintahan sampai ke struktur yang paling bawah mendekati rakyat. Bangunan seperti itu merupakan sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar memilih partainya. Sementara itu fasilitas yang ada di pemerintah sangat berharga untuk tidak disia-siakan guna kemanfaatan partainya. Itulah sebabnya rangkapan jabatan partai politik di birokrasi pemerintah sulit diberantas dan masih dipertahankan dengan segala cara. Dalih mereka ialah, ketika pemerintahan Golkar jabatan rangkap dan fasilitas pemerintah, mengapa setelah reformasi sekarang ini kita tidak boleh menikmatinya. Inilah aji mumpung yang menghinggapi mental dan akhlak para pejabat sekarang.

Makalah ini terdiri dari beberapa pembahasan diantaranya yang menjelaskan tentang bagaimana birokrasi pemerintahan dan partai politik berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada kehidupan rakyat Indonesia,   membahas birokrasi dan administrasi publik, tata kepemerintahan yang baik, membahas tentang partai politik dan birokrasi pemerintahan Indonesia, dan menguraikan tentang aspek kelembagaan dalam birokrasi pemerintahan sipil madaniah.

 

  1. Rumusan Masalah

Agar masalah yang akan dibahasa lebih jelas dan terarah, maka perlu dirumuskan dalam bentuk perumusan masalah yaitu :“Apakah birokrasi dan tata kelola pemerintahan Negara Republik Indonesia telah sesuai dengan kebutuhan raknyatnya?”

 

  1. Pembatasan Masalah

Bila ditinjau dari segi rumusan masalah, kiranya masalah tersebut masih terlalu luas untuk dibahas, maka perlu dibatasi melalui pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut :

  1. Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintah
  2. Tujuan Reformasi Birokrasi
  3. Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi
  4. Pengertian Tata Pemerintahan yang Baik (good governance)

 

  1. Tujuan Penulisan

Dalam membuat makalah ini agar lebih memahaminya penulis membuat beberapa tujuan penulisan diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Untuk Mengetahui Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintah
  2. Untuk Mengetahui Tujuan Reformasi Birokrasi
  3. Untuk Memahami Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi
  4. Untuk Mengetahui Tata Pemerintahan yang Baik

 

 

 

 

  1. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penyusunanmakalah ini. Penulis menggunakan beberapa metode diantyaranya :

  1. Metode tela’ah buku / studi pustaka, yakni penulis mencari pokok bahasan dari buku sumber yang relevan dengan pembahasan yang dikaji.
  2. Internet, yakni media jaringan komunikasi dan informasi dalam sebuah wahana softwere (web)yang terdapat dalam aplikasi komputer.

 

  1. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini diantaranya sebagai berikut :

  1. Kita dapat Mengetahui Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintah
  2. Kita dapat Mengetahui Tujuan Reformasi Birokrasi
  3. Kita dapat Memahami Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi
  4. Kita dapat Mengetahui Tata Pemerintahan yang Baik

 


 

BAB II

KAJIAN TEORITIS

 

Apa itu birokrasi ? Pertama perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalahpahaman umum bahwa pengertian birokrasi diberikan kepada hal-hal seperti jika seorang ingin mendapatkan informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang lain, tanpa mendapatkan informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya efisiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam suatu perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).

  1.    Birokrasi Menurut Beberapa Pakar :

1.1.  Max Weber

Pada dasarnya, Max Weber tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :

  1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
  2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
  3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
  4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
  5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
  6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
  7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
  8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :

  1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
  2. Terdapat girarki jabatan yang jelas;
  3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
  4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
  5. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
  6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
  7. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
  8. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
  9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
  10. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka.

Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut :

  1. Kolegialitas.

Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

  1. Pemisahan Kekuasaan.

Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

  1. Administrasi Amatir.

Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.

  1. Demokrasi Langsung.

Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

  1. Representasi.

Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

 

1.2.  Martin Albrow

Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi.Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.

Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

  1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat.

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

  1. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

  1. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.

  1. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

  1. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

 

  1. Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut

  1. Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.

 

  1.   Reformasi Birokrasi

Birokrasi dapat memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud apabila terbentuk suatu sistem di mana terjadi mekanisme Birokrasi yang efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstiruktif di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.

Saat ini posisi, wewenang dan peranan Birokrasi masih sangat kuat, baik dalam mobilisasi sumber daya pembangunan, perencanaan, maupun pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan ekonomi, sosial dan politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifatvertical top down daripada horizontal partisipative.

Birokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini masih belum efisien, yang antara lain ditandai dengan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi, struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan, budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan juga banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau biasa yang dikenal dengan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi, adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, untuk terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi reformasi birokrasi, yaitu :

  1. 1. Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
  2. Level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  3. Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
  4. Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.

Selain memerlukan strategi-strategi, dipelukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Secara nyata, perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.

1.1.   Langkah internal

  1. Meluruskan orientasi

Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.

  1. Memperkuat komitmen

Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.

  1. Membangun kultur baru

Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.

  1. Rasionalisasi

Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.

  1. Memperkuat payung hukum

Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan .

  1. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.

 

1.2.   Langkah eksternal

  1. Komitmen dan keteladanan elit politik

Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.

  1. Pengawasan masyarakat

Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peranbirokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.

 


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintahan

Dalam proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita sering medengar istilah “birokrasi”, terutama dalam membahas soal pemerintahan dan negara. Terdapat beberapa definisi mengenai makna dari kata birokrasi, diantaranya :

  1. Menurut Tjokroamidjoyo birokrasiadalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
  2. Menurut Max Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan.Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994).  Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.

Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi (kerja sama) masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, sehingga terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.

Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup di dalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Menurut Prof. Prijono, “Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu menghasilkan pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan profesional yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat”. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi.

Dikarenakan keadaan birokrasi Indonesia yang masih kacau balau pasca orde baru, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di setiap lembaga birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, kita selaku masyarakat dan warga negara perlu mengetahui apa itu reformasi birokrasi, selain itu juga agar masyarakat dapat mengetahui seberapa efektif reformasi birokrasi yang sudah berjalan di lembaga-lembaga birokrasi Indonesia sampai saat ini.

Reformasi birokrasi, adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

 

  1. Tujuan Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (publicservice). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada pada setiap hirearki jabatan. Semakin tinggi hirearki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirearkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendahhirearkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun.

Disiplin birokrasi model Weber menyatakan bahwa hirearki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh melawan kekuasaan hirearki atas (dalam Thoha, 1999). Tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya adalah memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Demikan pentingnya pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang ketika paradigma Good Governance (kepemerintahan yang baik) dikedepankan dimana akuntabilitas, efektivitas dan efesiensi dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik.

Telah disampaikan pula pada pembahasan sebelumnya di atas, bahwa tujuan dari reformasi birokrasi menurut Prof. Prijono, “Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu menghasilkan pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan profesional yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat”.

Secara umum bahwa tujuan dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah untuk merubah tatanan, sistem, tingkah laku dan arah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yang pada mulanya terkesan bahkan terasa otoriter, penuh dengan KKN diubah kedalam keadaan birokrasi yang bersih dan netral. Oleh karena itu lembaga Eksekutif yang berperan sebagai pelaksana aturan-aturan yang telah dibuat olehnya (lembaga Eksekutif itu sendiri ata persetujuan Legislatif) serta lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang berwenang untuk membuat kebijakan / peraturan. Harus dapat mengkordinir perangkat-perangkat birokrasi yang bersih (bebas kolusi, korupsi dan nepotisme) yang berpihak kepada kepentingan rakyat.

 

  1. Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, untuk terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi reformasi birokrasi, yaitu :

  1. Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
  2. Level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  3. Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensitangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
  4. Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.

Selain memerlukan strategi-strategi, dipelukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

 

  1. Pengertian Tata Pemerintahan yang Baik (GOOD GOVERNANCE)

1.1.  Arti Good governance

Governance yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembataniperbedaan-perbedaan diantara mereka.

Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh seckor negara dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminology governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.

Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governancebukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya wewenang yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam konsep governance wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku diluar pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara kolektif.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governanceadalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan social yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”

Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah “penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negra pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

 

1.2.  Membangun Good Governance

Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintahaccountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar Negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. Harus kita ingat, untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good governance adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia, fleksibilitas dalam memahamikonsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.

 


 

BAB IV

ANALISIS

 

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat.

Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnyapenyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan dengan birokrasi dan pelakunya (birokrat), antara lain seperti di bawah ini :

  1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
  2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
  3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu.
  4. Birokrasi harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik alih-alih sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan.
  5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel, dan responsif.

 

Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

 


 

BAB V

PENUTUP

 

Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya reformasi di bidang lain dalam suatu pemerintahan yang mengaplikasikan konsep administrasi

pembangunan. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan reformasi di bidang lain rekomendasi yang pertama harus dilakukan adalah reformasi birokrasi yang meliputi kelembagaan dan ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan pengawasan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Reformasi kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur organisasi birokrasi pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang tindih pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyusunan organisasi yang didasarkan pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena adanya tuntutan yang mendesak dan harus dilakukan untuk mendorong proses percepatan reformasi birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang kelembagaan adalah sebagai berikut :

  1. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi termasuk melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan standard operating procedure atau SOP.
  2. Melakukan penerapan audit institusi.
  3. Di bidang ketatalaksanaan perlu dipertimbangkan sistem rekrutmen dan promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya dan dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana yang berlaku di lingkungan swasta.

Selanjutnya, usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :

  1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
  2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
  3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.

Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dapat terwujud apabila semua lapisan masyarakat turut berperan serta dalam upaya pemberharuan diberbagai bidang khususnya dalam bidang pelayanan (birokrasi) pemerintah, karena birokrasi pemerintah merupakan proses interaksi / hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu negara dalam berbagai bidang.

Dan yang terakhir, untuk mendorong perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada peningkatan pengawasan terhadap

aparatur negara. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit internal maupun audit eksternal.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Daftar Bacaan :

Thoha, Miftah. Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

  1. Referensi Lain :

http://yosefkoton.blogspot.com/2006/08/birokrasi-oleh-yosef-p.html

http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html

http://www.find-docs.com/reformasi-birokrasi-pemerintahan-indonesia.html

http://www.find-docs.com/tata-pemerintahan-indonesia.html